Minggu, 22 Januari 2012

Bantuan Hukum di Indonesia


ORGANISASI ADVOKAT DAN PROGRAM BANTUAN HUKUM DI INDONESIA
Advokat sebagai bagian dari officer of the court memiliki posisi kunci dalam proses penegakkan hukum dan perlindungan hak asasi manusia diantaranya sebagai bagian dari proses mekanisme pengawasan dari tindakan – tindakan penegakkan hukum yang diambil oleh pejabat – pejabat yang terlibat dalam penegakkan hukum. Oleh karena itu tak salah jika advokat dinobatkan sebagai officium nobelium (profesi mulia) karena seluruh tindakannnya seharusnya dilandaskan pada perjuangan perlindungan hak asasi manusia. Karena sifat alamiah dari advokat tersebut, maka organisasi advokat sesungguhnya mampu mengambil peran besar dalam perjuangan perlindungan hak asasi manusia di seluruh penjuru dunia.
Peran besar organisasi advokat dalam perjuangan perlindungan hak asasi manusia ini pada dasarnya harus terwujud melalui keterlibatan organisasi advokat dalam program bantuan hukum. Secara mendasar organisasi advokat harus memberikan dukungan yang efektif terhadap program bantuan hukum. Untuk itu organisasi advokat juga harus turun dan terlibat aktif dalam mendesak negara untuk memberikan jaminan bantuan hukum bagi setiap warga miskin di negaranya.
Di Indonesia sendiri, program bantuan hukum yang didirikan atas inisiatif organisasi advokat juga belum menjadi sejarah yang cukup panjang. Hal ini terjadi karena organisasi advokat di Indonesia juga baru ada untuk pertama kalinya pada 30 Agustus 1964 yang ditandai dengan dibentuknya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) sebagai organisasi yang mewakili kepentingan advokat di Indonesia. Namun, tak lama setelah itu, pada 1969 PERADIN mulai mengambil bagian dalam program bantuan hukum yang ditandai dengan berdirinya LBH (sekarang dikenal dengan LBH Jakarta) pada 1970. Sejak saat itu PERADIN memprakarsai berdirinya LBH – LBH di beberapa kota besar di Indonesia sampai 1980.
Pada saat IKADIN terbentuk pada 1980-an dan juga pada masa – masa sulit karena munculnya beragam organisasi advokatpun, pada dasarnya organisasi advokat di Indonesia tidak pernah melupakan program bantuan hukum sebagai salah satu program strategis dalam organisasi advokat. Namun, pada umumnya program bantuan hukum yang dijalankan oleh organisasi advokat masih mendasarkan pada sifat kerelaan dari para pengurus program bantuan hukum dari organisasi advokat tersebut, dan belum menjadi suatu gerakan masif dari bergeraknya organisasi advokat dengan melibatkan para anggota dari organisasi advokat tersebut. Meski pada saat yang sama Kode Etik Advokat telah mewajibkan seorang advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada si miskin apabila diminta oleh si miskin tersebut.
Masalah tersebut, tentu membawa dampak bagi kelompok masyarakat miskin yang membutuhkan akses terhadap keadilan. Karena begitu banyaknya perkara – perkara hukum yang menyangkut kelompok masyarakat miskin namun organisasi advokat sebagai penyedia layanan bantuan hukum ternyata masih memiliki kapasitas yang minimal untuk menyediakan layanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Dampak ini akan semakin terasa bila si miskin tersebut sampai terjerat masalah pidana dimana sangat mungkin si miskin ini akan dirampas kemerdekaannya tanpa melalui pembelaan yang cukup. Hal ini dapat terjadi bilaketersediaan advokat untuk memberikan pembelaan yang maksimal juga masih sedikit.
Sampai sekarang tidak terdapat data, berapa jumlah orang miskin yang dapat mengakses layanan bantuan hukum yang disediakan oleh organisasi advokat. Sehingga sulit mengetahui secara pasti apakah program bantuan hukum yang dijalankan oleh organisasi advokat dapat berjalan efektif atau tidak dan sulit pula mengukur sampai seberapa jauh tingkat kepuasan masyarakat miskin yang mengakses layanan bantuan hukum yang disediakan oleh organisasi advokat.
Dengan dibentuknya KKAI sebagai embrio wadah tunggal advokat untuk menyambut adanya UU Advokat, tujuh organisasi advokat yang ada di Indonesia telah mengadopsi Kode Etik bersama yang dikenal dengan Kode Etik Advokat Indonesia dan perubahannya yang diadopsi pada 1 Oktober 2002. Pasal 7 huruf h telah menyatakan bahwa “Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. Selain itu Pasal 4 huruf f juga menegaskan bahwa “Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.”
Dengan adanya ketentuan ini, maka bantuan hukum telah menjadi bagian yang melekat dalam profesi advokat dan untuk itu maka selayaknya pelanggaran terhadap kewajiban bantuan hukum ini merupakan wilayah etika yang menjadi yurisdiksi dari organisasi advokat.
Hingga periode terbentuknya KKAI ini penulis belum menemukan adanya organisasi advokat yang secara progresif menyerukan keterlibatan anggota untuk terlibat aktif dan missal dalam program bantuan hukum yang diselenggarakan oleh organisasi advokat termasuk memikirkan bagaiman tata cara pemberian bantuan hukum melalui organisasi advokat. Kisah – kisah sporadis tentang bantuan hukum yang diselenggarakan oleh organisasi advokat kala itu memang terdengar tapi tidak dalam kesatuan langkah dan keterlibatan aktif secara missal dari para anggota organisasi advokat tersebut.
Dengan disahkannya UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada 5 April 2003, dimana dalam Pasal 22 UU No 18 Tahun 2003 kewajiban etik bantuan hukum seorang advokat telah berubah menjadi kewajiban hukum dari advokat dan pengaturan serta mekanisme bantuan hukum termasuk bagaimana organisasi advokat dapat memainkan perannya dalam bantuan hukum diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah
Dalam hal kewajiban pemberian bantuan ini, penulis berpendapat bahwa para pembuat UU Advokat telah salah secara konseptual dalam menafsirkan bantuan hukum sehingga meletakkan kewajiban tersebut menjadi kewajiban hukum bagi advokat. UU Advokat secara prinsip telah memindahkan tanggung jawab dan kewajiban konstitusional negara untuk menyelenggarakan bantuan hukum bagi kelompok masyarakat miskin dan kelompok rentan. Tanggung jawab dan Kewajiban konstitusional negara ini merupakan hal yang logis sejak Indonesia telah secara tegas menyatakan diri sebagai negara hukum. Selain itu juga Pasal 28 I ayat (4) telah menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Dalam konteks inilah proses pengalihan tanggung jawab dan kewajiban konstitusional negara dalam soal bantuan hukum kepada advokat dan organisasi advokat harus mendapatkan sorotan tajam. Tanggung jawab konstitusional negara untuk menyediakan suatu sistem bantuan hukum nasional yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat miskin di Indonesia setidaknya dapat ditemukan di Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), Pasal 28 I ayat (2), dan Pasal 34 UUD 1945.
Meski demikian terdapat kesalahan konseptual pada bantuan hukum dalam UU Advokat, namun peran organisasi advokat tidaklah kecil, karena di pundak organisasi advokat terdapat fungsi pengawasan bantuan hukum yang dilakukan oleh advokat. Organisasi advokat harus memastikan bahwa setiap anggotanya tidak melanggar etika profesi saat menerima dan melaksanakan permohonan bantuan hukum. Organisasi advokat mestinya juga memastikan bahwa setiap orang miskin yang punya masalah hukum dan datang ke kantor – kantor advokat tidak akan mengalami diskriminasi karena keadaan sosial ekonominya. Persis di titik inilah organisasi advokat dapat menjalankan peran pentingnya.
PERADI sebagai organisasi advokat dengan jumlah anggota lebih dari 15.000 di seluruh Indonesia telah berupaya mengambil inisiatif penting sesaat setelah diundangkannya PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum. Inisiatif penting yang diambil PERADI adalah dengan membentuk Pusat Bantuan Hukum pada 11 Mei 2009 sebagai unit kerja yang secara khusus mengelola pelaksanaan bantuan hukum oleh anggota PERADI. Salah satu perubahan yang dapat dipandang revolusioner adalah dengan pembentukan Pusat Bantuan Hukum ini maka diharapkan adanya keterlibatan aktif 15 ribu anggota dalam program bantuan hukum. Titik pembedanya dengan organisasi bantuan hukum lainnya adalah unit kerja bantuan hukum ini bersandar pada 15 ribu anggota PERADI dan tidak mempekerjakan advokat dalam memberikan layanan bantuan hukum.
Sebagai tindak lanjut dari pembentukan Pusat Bantuan Hukum tersebut, PERADI juga telah mengesahkan Peraturan PERADI No 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum pada 8 Juli 2010 yang menegaskan bahwa setiap anggota PERADI wajib memberikan bantuan hukum dengan minimum pelaksanaan sebanyak 50 jam/tahun. Secara normatif, harus diakui bahwa PERADI telah menunjukkan kemajuan dalam program bantuan hukum dengan mencoba melibatkan 15 ribu anggotanya dalam program tersebut. Namun di sisi lain hambatan dan tantangan lain tentu muncul dalam pelaksanaannya. Salah satu yang paling mudah diidentifikasi adalah bagaimana melakukan komunikasi dengan 15 ribu anggota PERADI yang tersebar di seluruh Indonesia bahwa terhadap mereka telah diberlakukan ketentuan kewajiban bantuan hukum tersebut. Masalah lain yang muncul adalah Peraturan ini tidak melihat bagaimana dengan dana bantuan hukum yang semestinya tersedia karena menurut ketentuan yang berlaku bahwa layanan bantuan hukum yang digratiskan adalah sepanjang mengenai biaya jasa dari seorang advokat. Ketiadaan mekanisme dukungan biaya operasional baik dari negara, melalui UU Bantuan Hukum, ataupun dari organisasi advokat tentu bisa dimanfaatkan oleh pihak – pihak yang beritikat buruk diantaranya dengan cara meminta dana dari pemohon bantuan hukum. Di sisi lain Peraturan PERADI tersebut hanya menegaskan larangan menerima dana dari Pemohon Bantuan Hukum untuk kepentingan apapun dalam aktifitas bantuan hukum. Tantangan lain tentu soal mekanisme pengawasan terhadap advokat yang melakukan aktifitas bantuan hukum. Peraturan PERADI ini masih menjelaskan tentang bagaimana masyarakat miskin dapat mengakses pengaduan terhadap advokat – advokat yang diduga melakukan pelanggaran etika di depan Dewan Kehormatan.
Hal – hal ini tentu harus segera dijawab oleh PERADI, karena dengan mengefektifkan program bantuan hukum ini diharapkan PERADI dan para anggota tentunya bisa mengambil garda terdepan terhadap pembelaan hak asasi manusia di Indonesia dan sekaligus menjawab kekuatiran masyarakat bahwa di Indonesia hanya si kaya saja yang boleh diwakili oleh Advokat

Sejarah Lembaga Bantuan Hukum


SEJARAH LEMBAGA BANTUAN HUKUM
Kalau bantuan hukum diartikan sebagai charity maka bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak tahun 1500-an bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
Praktek bantuan hukum terlihat adanya praktek gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat di mana dalam masalah-masalah tertentu masyarakat meminta bantuan kepada kepala adat untuk menyelesaikan masalah tertentu. Kalau hukum diartikan luas maka bantuan adat adalah juga bantuan hukum.
Dalam hukum positif Indonesa, bantuan hukum sudah diatur dalam pasal 250 HIR. Dalam pasal ini jelas mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara-perkara tertentu yaitu perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup walaupun dalam pasal ini prakteknya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia. Dan bagi ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma.
Meskipun HIR berlaku terbatas namun bisa ditafsirkan sebagai awal mula pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia. Sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang hukum acara maka ketentuan HIR masih tetap berlaku. Pada tahun 1970 lahirnlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang di dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum.
Secara institusional, lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan di Rechtshoge School Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker. Biro ini didirikan dengan maksud untuk memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum.
Pada tahun 1953 didirikan semacam Biro Konsultasi Hukum pada sebuah perguruan Tionghoa Sim Ming Hui atau Tjandra naya. Biro ini didirikan oleh Prof, Ting Swan Tiong. Pada sekitar tahun 1962 Prof. Ting Swan Tiong mengusulan kepada Fakultas Hukum Universitas Indonesia agar di Fakultas Hukum didirikan Biro Konsultasi Hukum. Usulan ini disambut baik dan didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia. Pada tahun 1968 diubah namanya menjadi Lembaga Konsultasi Hukum lalu pada tahun 1974 diubah menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum. Di daerah lain biro serupa juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Pajajaran pada tahun 1967 oleh Prof. Mochtar Kusumatmadja.
Berbicara tentang sejarah bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari peranan dua tokoh penting yaitu S. Tasrif, S.H. dan Adnan Buyung Nasution, S.H. S. Tasrif dalam sebuah artikel yang ditulisnya di Harian Pelopor Baru tanggal 16 Juli 1968 menjelaskan bahwa bantuan hukum bagi si miskin merupakan satu aspek cita-cita dari rule of the law. Kemudian untuk mewujudkan idenya tersebut, S. Tasrif mohon kepada Ketua Pengadilan Jakarta untuk diberikan satu ruangan yang dapat digunakan untuk para advokat secara bergiliran untuk memberikan bantuan hukum.
Adnan Buyung Nasution, S.H. dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang dalam Kongres tersebut akhirnya mengesahkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lainnya di seluruh Indonesia. Tidak ketinggalan pula organisasi-organisasi politik, buruh, dan perguruan tinggi juga ikut pula mendirikan LBH-LBH seperti, LBH Trisula, LBH MKGR, LBH Kosgoro, dan sebagainya.
Dengan adanya LBH-LBH di seluruh Indonesia maka muncul Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bertujuan untuk mengorganisir dan merupakan naungan bagi LBH-LBH. YLBHI menyusun garis-garis program yang akan dilaksanakan bersama di bawah satu koordinasi sehingga diharapkan kegiatan-kegiatan bantuan hukum dapat dikembangkan secara nasional dan lebih terarah di bawah satu koordinasi.


LAMBANG LBH POSO

KODE ETIK ADVOKAT


KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Advokat Sebagai Profesi
Profesi berasal dari bahasa Inggris, profession, yang mempunyai arti sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Pengertian lain profesi adalah suatu pekerjaan pelayanan:- penerapan seperangkat pengetahuan secara sistematis untuk mengatasi persoalan-persoalan , persoalan-persoalan tersebut termasuk ke dalam wawasan nilai-nilai utama yang mempunyai relevansi tinggi dalam masyarakat.
Menurut Soebijakto, untuk dapat disebut sebagai profesi diperlukan kriteria sebagai berikut.
1. pengetahuan.
2. keahian kemahiran.
3. mengabdi kepada kepentingan orang banyak.
4. tidak mengutamakan keuntungan materi.
5. adanya organisAsi atau asosiasi profesi.
6. pengakuan masyarakat.
7. kode etik.
Kalangan advokat mengartikan profesi dengan unsur-unsur:
1. harus ada ilmu hukum yang diolah di dalamnya;
2. harus ada kebebasan, tidak boleh ada hubungan dinas/hirarkis;
3. mengabdi pada kepentingan umum, mencari nafkah tidak menjadi tujuan.
Pengertian profesi advokat adalah suatu pekerjaan di bidang hukum yang didasari oleh keahlian dan sumpah atau ikrar atau komitmen untuk bersedia bekerja demi tujuan hukum; kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Keahlian adalah suatu kecakapan khusus berdasarkan pengetahuan dan pengalaman memadai berdasarkan pengakuan dari institusi resmi untuk menjalankan pekerjaan profesi advokat. Sumpah, ikrar atau komitmen diartikan sebagai janji profesi untuk memegang idealisme, moral dan integritas yang dimuat dalam kode etik profesi.
Pengertian Kode Etik
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah:
1. ilmu tentag apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral;
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Pengertian lain tentang etika menurut Ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa etika yang mengandung ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai:
1. apa yang baik dan apa yang buruk;
2. segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil pemeriksaan tentang keadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.
Pengertian kode etik mempunyai arti tulisan atau tanda-tanda etis yang mempunyai tujuan tertentu, mengandung norma-norma hidup yang etis, aturan tata susila, sikap, akhlak, berbudi luhur yang pelaksanaanya diserahkan atas keinsyafan dan kesadaran dirinya sendiri.
Kode etik dapat dibuat dan diberlakukan secara luas dan sempit. Kode etik dibuat dan diberlakukan secara luas adalah etika yang nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila dan diciptakan dan diberlakukan untuk seluruh umat manusia secara universal. Kode etik dalam arti sempit adalah etika yang diciptakan dan diberlakukan untuk golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat.
Etika yang diberlakukan secara sempit inilah yang disebut sebagai etika profesi. Etika profesi diciptakan dan diberlakukan untuk kalangan profesi tertneu. Contohnya adalah etika profesi dokter berlaku untuk kalangan dokter, etika profesi akuntan berlaku bagi kalangan akuntan, etika profesi advokat berlaku bagi kalangan advokat.
Kode Etik Advokat
Kode etik advokat adalah Kode Etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 berdasarkan kesepakatan 7 (tujuh) organisasi advokat Indonesia yang terdiri dari:
1. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN);
2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);
3. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI);
4. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
5. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM);
6. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
7. Himpunan advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.

S O P LBH POSO



STANDART OPERATING PROCEDURES (SOP)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso
Januari  2012-2013


1.  SOP Penanganan Kasus yang di laporkan langsung ke LBH-POSO
Pelaporan  Kasus 
:
1)  Pelapor mengajukan permohonan pendampingan secara tertulis (dimungkinkan lisan jika pelapor org yang tidak tau menulis);

2)  Pelapor mengisi FORM PELAPORAN yang telah di sediakan oleh LBH-POSO;
3)  Pelapor memperlihatkan/menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara yang di laporkan, antara lain :
-          KTP;
-          Surat Keterangan Miskin;
-          Dokumen kasus;
-          Dll;
4)  Staf yang menerima laporan sesegara mungkin menanyakan dan menulis kronologis singkat kejadian;
5)  Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari, internal LBH-POSO akan memutuskan apakah kasus ini dapat di tangani oleh LBH-POSO ataukah di tolak.
Menyikapi Laporan
:
1)   Divisi Advokasi, Ketua pengurus harian, dan Divisi lainnya (jika di butuhkan oleh divisi advokasi) melakukan rapat internal, guna memutuskan apakah kasus yang dilaporkan bersedia di tangani LBH-POSO atau tidak;
2)   Semua yang terlibat di dalam rapat internal ber-hak mengeluarkan pendapatnya tentang kasus yang dilaporkan berdasarkan penilaiannya secara objektif;
3)  Rapat Internal memutuskan apakah kasus ini layak di tangani oleh LBH-POSO atau tidak.
Bedah Kasus
:
1)   Dipimpin oleh Ketua LBH-POSO melakukan bedah kasus;

2)   Dalam bedah kasus jika di mungkinkan menghadirkan beberapa advokat/pengacara.
Penentuan TIM ADVOKASI
:
1)    Tim Advokasi di bentuk oleh Koord. Divisi Advokasi melalui persetujuan Ketua LBH-POSO;

2)    Ketua LBH-POSO dan Koord. Divisi Advokasi melalui rapat internal, menunjuk siapa staf yang menjadi Koordinator dari penanganan Kasus tersebut . Staf yang di tunjuk dapat berasal dari Divisi lainnya, dengan mempertimbangkan resource yang di miliki oleh staf yang bersangkutan. 
Surat Kuasa Pendampingan
:
1)     Koord. Divisi Data dan Kesektariatan berkewajiban mengeluarkan surat kuasa pendampingan dan atau surat kuasa Khusus atas kasus yang sedang di tangani, berdasarkan hasil kesepakatan dengan Koord. divisi advokasi atas persetujuan ketua harian;

2)     Semua orang yang tergabung dalam TIM ADVOKASI LBH-POSO, berkewajiban menandatangani surat kuasa pendampingan.
Penanganan
:
1)      Tim Advokasi Non litigasi, bertanggung jawab mendampingi pelapor pada semua tingkatan pemeriksaan;

2)      Koordinator yang di tunjuk menangani kasus tersebut, berkewajiban meng up date informasi disetiap tingkat penanganan, termasuk pengadaan dokumen dan pemeliharaan dokumen atas kasus yang sedang di advokasi;

3)      Staf  yang ditunjuk untuk mendampingi, berkewajiban melaporkan secara lisan maupun tulisan hasil perkembangan pendampingan kepada koordinator yang di tunjuk;

4)      Koordinator yang di tunjuk berkewajiban membuat laporan baik secara lisan atau pun tulisan kepada kepada Koord. Divisi Advokasi tentang perkembangan kasus yang di dampingi;

5)      Tim Advokasi Litigasi, berkewajiban berkoordinasi dengan Ketua LBH-POSO dan atau Koord. Divisi Advokasi ataupun staf divisi lainnya yang telah di tunjuk menjadi penanggung jawab kasus yang sedang ditangani.
Evaluasi Penangan kasus

1)     Koord. Divisi Advokasi berkewajiban melaksanakan Rapat internal guna membahas secara menyeluruh kasus yang tuntas, belum tuntas dan atau tidak tuntas ditangani LBH-POSO guna mengetahui hasil, hambatan, peluang, dan tantangan dalam penanganan kasus;

2)     Ketua LBH-POSO berkewajiban menentukan langkah-langkah advokasi selanjutnya dan atau menyatakan menyudahi advokasi suatu kasus, jika dari hasil evaluasi memungkinkan dan atau tidak memungkinkan kasus tersebut dilanjutkan;

3)     Ketua LBH – POSO berkewajiban mengemukakan alasannya di dalam forum internal, mengapa kasus tersebut di lanjutkan dan atau tidak dilanjutkan advokasinya.











2.    SOP terkait dengan tata kelolah manajemen organisasi 
1)  Pengajuan Anggaran Untuk kepentingan Advokasi
:
1)      Ketua, Koord divisi, dan atau staf mengisi Form Pengajuan anggaran;


2)     Pengajuan anggaran yang dilakukan oleh Ketua Pengurus untuk kepentingan Advokasi, Form pengajuan harus disetujui oleh Koord. Divisi Advokasi sebelum di serahkan kepada Koord. Keuangan;


3)     Pengajuan anggaran untuk kepentingan Advokasi yang dilakukan oleh Koord. Masing-masing divisi harus di setujui oleh Ketua Pengurus harian, sebelum di serahkan kepada Koord. Keuangan;


4)     Pengajuan anggaran untuk kepentingan advokasi yang dilakukan oleh Staf  harus di setujui oleh Koor. Divisi advokasi dan atau Ketua Pengurus harian, sebelum di serahkan kepada Koord. Keuangan;


5)     Koord. Keuangan Berdasarkan prinsip tata  manajemen keuangan yang baik dengan mempertimbangkan keefektifan kerja-kerja advokasi berhak menentukan apakah pengajuan dapat di setujui saat itu juga, di tunda, ataupun di tolak;


6)     Dalam hal di tunda maupun di tolak pengajuan anggaran tersebut,  koord. Keuangan dapat menjelaskan secara lisan maupun tulisan dalam rapat koordinasi alasan penundaan maupun penolakan pencairan anggaran;


7)     Dalam Hal di terimanya pengajuan anggaran, ketua, Koord divisi, dan atau staf berkewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran sesuai dengan tujuan pengajuan yang tercatat pada form Pengajuan, dengan mengembalikan bukti-bukti penggunaan anggaran (kwitansi, Nota, dll) kepada koord. Keuangan dan atau staf keuangan;
Pengajuan Anggaran untuk kepentingan Administrasi
:
1)     Ketua, Koord divisi, dan atau staf mengisi Form Pengajuan anggaran;



2)     Pengajuan anggaran yang dilakukan oleh Ketua Pengurus harian untuk kepentingan Administrasi, Form pengajuan harus disetujui oleh Koord. Divisi Administrasi sebelum di serahkan kepada Koord. Keuangan;


3)     Pengajuan anggaran untuk kepentingan Administrasi yang dilakukan oleh Koord. Masing-masing divisi harus di setujui oleh Ketua Pengurus harian, sebelum di serahkan kepada Koord. Keuangan;


4)     Pengajuan anggaran untuk kepentingan Administrasi yang dilakukan oleh Staf  harus di setujui oleh Koord. Divisi administrasi dan atau Ketua Pengurus harian, sebelum di serahkan kepada Koord. Keuangan;


5)     Koord. Keuangan Berdasarkan prinsip tata  manajemen keuangan yang baik dengan mempertimbangkan keefektifan kerja-kerja sistem administrasi lembaga berhak menentukan apakah pengajuan dapat di setujui saat itu juga, di tunda, ataupun di tolak;


6)      Dalam hal di tunda maupun di tolak pengajuan anggaran tersebut,  koord. Keuangan dapat menjelaskan secara lisan mau tulisan alasan penundaan maupun penolakan pencairan anggaran;


8)     Dalam Hal di terimanya pengajuan anggaran, ketua, Koord divisi, dan atau staf berkewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran sesuai dengan tujuan pengajuan yang tercatat pada form Pengajuan, dengan mengembalikan bukti-bukti penggunaan anggaran (kwitansi, Nota, dll) kepada koord. Keuangan dan atau staf keuangan;
Penggunaan anggaran untuk kepentingan divisi keuangan :

1)      Koord. Divisi keuangan berkewajiban mempertanggung jawabkan secara internal organisasi melalui laporan yang di bahas dalam forum formal internal seluruh penggunaan anggaran termasuk penggunaan anggaran yang di lakukan oleh divisi Keuangan.
Di Tetapkan Di Poso
Hari Sabtu, Tanggal 21 Januari 2012.
Jam : 16.37 Wita.
Badan Pengurus
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso


Moh Taufik.D.Umar.SH
Ketua