KODE ETIK
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) POSO
PEMBUKAAN
Awal mula regulasi pelembagaan bantuan hukum ke dalam
hukum positif Indonesia adalah pasal 250 HIR. Mengatur tentang bantuan hukum
bagi terdakwa dalam perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman
seumur hidup, ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan
cuma-cuma. Begitu ketentuan dari pasal 250 HIR. Pada tahun 1970 lahirlah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, di
dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum. Dalam perkembangannya
Prof. Zeylemaker pada tahun 1940 mendirikan biro bantuan hukum dalam bentuk
konsultasi hukum dengan maksud memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak
mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Perkembangan bantuan
hukum mulai masuk ke dunia kampus pada tahun 1953 Prof, Ting Swan Tiong di
perguruan Tjandra Naya mendirikan Biro Konsultasi Hukum . Berkat usulan Prof,
Ting Swan Tiong pada sekitar tahun 1962 berdiri pula Biro Konsultasi Hukum di
Universitas Indonesia.
Sedangkan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
berawal dari ide S.Tasrif tahun 1968 menurutnya bantuan hukum bagi si miskin
merupakan satu aspek cita-cita dari rule of the law. Kemudian Adnan Buyung
Nasution, dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya
pembentukan Lembaga Bantuan Hukum. Akhirnya Kongres mengesahkan berdirinya
Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Banyak ahli hukum memandang S.Tasrif dan
Adnan Buyung Nasution adalah orang paling berjasa dalam pembentukan LBH. Hasil
kongres Peradi III ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada
akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lain di seluruh Indonesia. Untuk menaungi
LBH yang ada terbentuklah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Sejauh ini, dukungan finansial bagi YLBHI diperoleh dari sumbangan-sumbangan
luar negeri, seperti Amerika Serikat, Swedia, Belgia, Belanda, Australia dan
Kanada. Untuk menyokong pendanaan bantuan hukum rakyat Indonesia seharusnya
Negara bertnggungjawab, walaupun sekarang ada tapi kurang maksimal. Hal ini
juga mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum.
Regulasi yang memuat Bantuan Hukum sebenarnya sudah
banyak misalnya dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang Undang Hukum Acara Pidana, untuk tindak pidana yang dituntut hukuman
lima belas tahun atau lebih dapat diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. UU
Advokat juga sudah mengatur tentang bantuan hukum, Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) juga ada yang mengatur tentang bantuan hukum. Menurut Suryadi Direktur
LBH Pekanbaru peraturan yang ada belum maksimal, mestinya ada aturan yang lebih
khusus lagi.
Judul diatas adalah tema diskusi yang ditaja Forum
Pers Mahasiswa Riau (Fopersma) untuk merespon substansi Undang- Undang Bantuan
Hukum yang disahkan DPR 4 Oktober 2011. Penyusunan UU Bantuan Hukum awalnya
mempunyai semangat menjawab harapan masyarakat “miskin” pencari keadilan. YLBHI
berperan aktif mendorong kelahiran UU Bantuan Hukum ini. Setelah UU Bantuan
Hukum disahkan walaupun baru efektif digunakan tahun 2013, beberapa lembaga
merasa ada pasal-pasal yang harus di yudicia review. YLBHI menilai UU ini tidak
mampu menjawab harapan masyarakat “miskin” pencari keadilan.
Alasannya, pertama Penerima bantuan hukum dirancang
hanya untuk kategori miskin secara ekonomi, padahal masyarakat yang
termarjinalkan secara sosial dan politik pun berhak mendapat bantuan hukum dari
negara. Sebagaimana Pasal 5 ayat 2, “Hak dasar yang dimaksud pada ayat (1)
meliputi hak atas pangan, sandang , layanan kesehatan,layanan pendidikan,
pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan”. Jelas sekali pasal ini membatasi
penerima bantuan hukum hanya orang-orang miskin secara ekonomi.
Kedua,berdasarkan pasal 6 ayat 2, “pemberian bantuan
hukum kepada penerima bantuan hukum diselenggarakan oleh menteri dan
dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum berdasarkan UU ini”. Penyelenggara
bantuan hukum tidak independen dan birokratis,lantaran penyelenggara pemberian
bantuan hukum oleh Mentri Hukum dan HAM, YLBHI kawatir ini akan berpotensi
terjadi abuse of power. YLBHI merekomendasikan dibentuk komisi khusus untuk
menangani ini.
Alasan ketiga, YLBHI memandang Menteri sebagai
penyelenggara bantuan hukum memiliki tugas melakukan intervensi langsung kepada
lembaga pemberi bantuan hukum yang selama ini konsen memberi bantuan hukum
kepada rakyat miskin pencari keadilan. Ini berdasarkan pasal 6 ayat 3,
“Menyusun dan menetapkan standar bantuan hukum berdasarkan asas-asas pemberian
bantuan hukum”
Alasan YLBHI untuk melakukan yudicial review sangat
relefan, sangat sempit tanggungjawab negara ketika yang berhak mendapatkan
bantuan hukum hanyalah orang miskin (miskin dalam konteks ekonomi), sementara
orang-orang yang termarjinal tidak berhak mendapatkan bantuan hukum? . Melihat
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya
dilindungi. Seharusnya bukan hanya mereka yang dilemahkan karena persoaln
ekonomi saja, tapi juga mereka yang membutuhkan bantuan hukum lantaran politik,
sosial juga budaya berhak mendaptkan bantuan hukum.
Menurut Dodi Haryono dosen Fakultas Hukum Universitas
Riau Ada dua alasan pemberian bantuan hukum oleh negara pertama karena
kepentingan keadilan, kedua. Kalau dilihat pasal 5 ayat 2 prinsip pemberian
bantuan hukum hanya mempertimbangkan tidak mampu membayar advokat sedang untuk
kepentingan keadilan yang memiliki arti lebih luas tidak
dipertimbangkan.Misalnya saja di Riau konflik para aktivis dengan perusahaan
atau penguasa sangat tinggi. Menurut Muslim koordinator Jaringan Penyelamat
Hutan Riau (Jikalahari) terdapat 92,4 persen kasus masuk jalur hukum, sedangkan
yang mampu diakses hanya 1,5 persen. Apakah ini tidak perlu mendapatkan bantuan
hukum?. Keadaan ini berbeda dengan konsep pemberian bantuan hukum di Eropa,
lebih dikedepankan kepentingan keadilan. Sesuai Pasal 47 Piagam Hak-Hak
Mendasar dari Uni Eropa. Menyediakan bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkan
untuk “menjamin akses yang efektif terhadap keadilan”.
Untuk terus memperjuangkan keadilan untuk masyarakat
terutama masyarakat miskin maka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso didirikan
dimana salah satu visi nya ialah melakukan pembaharuan hukum di indonesia
terutama di wilayah kabupaten poso dan sekitarnya. Dalam menjalankan segala
aktivitasnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso ahruas taan terhadap anggaran
dasar / anggaran rumah tangga dan Kode Etik. Untuk itu maka Kode Etik Lamba
Bantuan Hukum (LBH) Poso ditetapkan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan Anggaran dasar/ Anggaran Rumah Tangga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso.
Kode Etik
Dalam kehidupan berlembaga dan
bermasyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso menjunjung tinggi Kode Etika
sebagai berikut :
1. Berperilaku Adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu
pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu
prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian,
tuntutan yang paling mendasar dari kedailan adalah memberikan perlakuan dan
memberikan kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang.
2.
Berperilaku
Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar
adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya
pribadi yang kuat.
3.
Berperilaku
Arif dan Bijaksana
Prilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi
yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
4.
Bersikap
Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain,
bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh pihak lain serta berpegang
teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan
ketentuan hukum yang berlaku.
5.
Berintegritas
Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa,
jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada
sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang
berlaku dalam melaksanakan tugas.
6.
Bertanggung
Jawab
Bertanggung jawab bermakna kesedian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang
dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas
pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut..
7.
Menjunjung
Tinggi Harga Diri
Prinsip menjunjung tinggi harga diri akan mendorong dan membentuk
pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa
menjaga kehormatan dan martabat sebagai anggota Lembaga
Bantuan Hukum Poso.
8.
Berdisiplin
Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah
yang diyakini sebagai panggilan luhur mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat
pencari keadilan.
9.
Berperilaku
Rendah Hati
Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri,
jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk kesombongan.
10.
Bersikap
Profesional
Profesional
bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan
pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas
dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas.