Selasa, 23 Desember 2014

KODE ETIK LEMBAGA BANTUAN HUKUM POSO



KODE ETIK
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) POSO

PEMBUKAAN

Awal mula regulasi pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia adalah pasal 250 HIR. Mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup, ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma. Begitu ketentuan dari pasal 250 HIR. Pada tahun 1970 lahirlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, di dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum. Dalam perkembangannya Prof. Zeylemaker pada tahun 1940 mendirikan biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum dengan maksud memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Perkembangan bantuan hukum mulai masuk ke dunia kampus pada tahun 1953 Prof, Ting Swan Tiong di perguruan Tjandra Naya mendirikan Biro Konsultasi Hukum . Berkat usulan Prof, Ting Swan Tiong pada sekitar tahun 1962 berdiri pula Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia.
Sedangkan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berawal dari ide S.Tasrif tahun 1968 menurutnya bantuan hukum bagi si miskin merupakan satu aspek cita-cita dari rule of the law. Kemudian Adnan Buyung Nasution, dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum. Akhirnya Kongres mengesahkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Banyak ahli hukum memandang S.Tasrif dan Adnan Buyung Nasution adalah orang paling berjasa dalam pembentukan LBH. Hasil kongres Peradi III ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lain di seluruh Indonesia. Untuk menaungi LBH yang ada terbentuklah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sejauh ini, dukungan finansial bagi YLBHI diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar negeri, seperti Amerika Serikat, Swedia, Belgia, Belanda, Australia dan Kanada. Untuk menyokong pendanaan bantuan hukum rakyat Indonesia seharusnya Negara bertnggungjawab, walaupun sekarang ada tapi kurang maksimal. Hal ini juga mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum.
Regulasi yang memuat Bantuan Hukum sebenarnya sudah banyak misalnya dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, untuk tindak pidana yang dituntut hukuman lima belas tahun atau lebih dapat diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. UU Advokat juga sudah mengatur tentang bantuan hukum, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) juga ada yang mengatur tentang bantuan hukum. Menurut Suryadi Direktur LBH Pekanbaru peraturan yang ada belum maksimal, mestinya ada aturan yang lebih khusus lagi.
Judul diatas adalah tema diskusi yang ditaja Forum Pers Mahasiswa Riau (Fopersma) untuk merespon substansi Undang- Undang Bantuan Hukum yang disahkan DPR 4 Oktober 2011. Penyusunan UU Bantuan Hukum awalnya mempunyai semangat menjawab harapan masyarakat “miskin” pencari keadilan. YLBHI berperan aktif mendorong kelahiran UU Bantuan Hukum ini. Setelah UU Bantuan Hukum disahkan walaupun baru efektif digunakan tahun 2013, beberapa lembaga merasa ada pasal-pasal yang harus di yudicia review. YLBHI menilai UU ini tidak mampu menjawab harapan masyarakat “miskin” pencari keadilan.
Alasannya, pertama Penerima bantuan hukum dirancang hanya untuk kategori miskin secara ekonomi, padahal masyarakat yang termarjinalkan secara sosial dan politik pun berhak mendapat bantuan hukum dari negara. Sebagaimana Pasal 5 ayat 2, “Hak dasar yang dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang , layanan kesehatan,layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan”. Jelas sekali pasal ini membatasi penerima bantuan hukum hanya orang-orang miskin secara ekonomi.
Kedua,berdasarkan pasal 6 ayat 2, “pemberian bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum berdasarkan UU ini”. Penyelenggara bantuan hukum tidak independen dan birokratis,lantaran penyelenggara pemberian bantuan hukum oleh Mentri Hukum dan HAM, YLBHI kawatir ini akan berpotensi terjadi abuse of power. YLBHI merekomendasikan dibentuk komisi khusus untuk menangani ini.
Alasan ketiga, YLBHI memandang Menteri sebagai penyelenggara bantuan hukum memiliki tugas melakukan intervensi langsung kepada lembaga pemberi bantuan hukum yang selama ini konsen memberi bantuan hukum kepada rakyat miskin pencari keadilan. Ini berdasarkan pasal 6 ayat 3, “Menyusun dan menetapkan standar bantuan hukum berdasarkan asas-asas pemberian bantuan hukum”
Alasan YLBHI untuk melakukan yudicial review sangat relefan, sangat sempit tanggungjawab negara ketika yang berhak mendapatkan bantuan hukum hanyalah orang miskin (miskin dalam konteks ekonomi), sementara orang-orang yang termarjinal tidak berhak mendapatkan bantuan hukum? . Melihat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dilindungi. Seharusnya bukan hanya mereka yang dilemahkan karena persoaln ekonomi saja, tapi juga mereka yang membutuhkan bantuan hukum lantaran politik, sosial juga budaya berhak mendaptkan bantuan hukum.
Menurut Dodi Haryono dosen Fakultas Hukum Universitas Riau Ada dua alasan pemberian bantuan hukum oleh negara pertama karena kepentingan keadilan, kedua. Kalau dilihat pasal 5 ayat 2 prinsip pemberian bantuan hukum hanya mempertimbangkan tidak mampu membayar advokat sedang untuk kepentingan keadilan yang memiliki arti lebih luas tidak dipertimbangkan.Misalnya saja di Riau konflik para aktivis dengan perusahaan atau penguasa sangat tinggi. Menurut Muslim koordinator Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) terdapat 92,4 persen kasus masuk jalur hukum, sedangkan yang mampu diakses hanya 1,5 persen. Apakah ini tidak perlu mendapatkan bantuan hukum?. Keadaan ini berbeda dengan konsep pemberian bantuan hukum di Eropa, lebih dikedepankan kepentingan keadilan. Sesuai Pasal 47 Piagam Hak-Hak Mendasar dari Uni Eropa. Menyediakan bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkan untuk “menjamin akses yang efektif terhadap keadilan”.
Untuk terus memperjuangkan keadilan untuk masyarakat terutama masyarakat miskin maka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso didirikan dimana salah satu visi nya ialah melakukan pembaharuan hukum di indonesia terutama di wilayah kabupaten poso dan sekitarnya. Dalam menjalankan segala aktivitasnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso ahruas taan terhadap anggaran dasar / anggaran rumah tangga dan Kode Etik. Untuk itu maka Kode Etik Lamba Bantuan Hukum (LBH) Poso ditetapkan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Anggaran dasar/ Anggaran Rumah Tangga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso.
Kode Etik
Dalam kehidupan berlembaga dan bermasyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Poso menjunjung tinggi Kode Etika sebagai berikut :
1.     Berperilaku Adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari kedailan adalah memberikan perlakuan dan memberikan kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang.
2.       Berperilaku Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat.
3.       Berperilaku Arif dan Bijaksana
Prilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
4.       Bersikap Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh pihak lain serta berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.
5.       Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
6.       Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab bermakna  kesedian untuk    melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut..
7.       Menjunjung Tinggi Harga Diri
Prinsip menjunjung tinggi harga diri akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai anggota Lembaga Bantuan Hukum Poso.
8.       Berdisiplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
9.       Berperilaku Rendah Hati
Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk kesombongan.
10.   Bersikap Profesional
Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar